Guru merupakan pekerjaan yang mulia, pengabdian yang tak kenal pamrih melahirkan manusia yang terdidik, kritis, kompeten, bermoral dan beretika. Banyak orang yang sukses berkat “polesan” guru. Guru dikatakan sukses apabila sukses mengantarkan anak didiknya sukses di dunia maupun akhirat. Ibarat lilin yang terus menyala guru menerangi lingkungannya dengan cahaya pengabdian. Walaupun terbakar dan meleleh nyala lilin tetap menerangi, analogi yang tepat menggambarkan pengorbanan dan perjuangan guru untuk mendidik siswanya agar menjadi orang yang sukses kelak.
Lilin merupakan sebuh benda kecil yang mudah patah apabila terkena goresan atau pukulan. Namun,kilaunya sinar yang dipancarkan menerangi ketika kegelapan hadir disekitar kita. Itulah guru kita, guru bagaikan lilin yang menerangi kita dari kehidupan yang gelap menuju kehidupan yang lebih terang. Sinar yang terus mereka pancarkan kekal sampai mereka tua dan tak berdaya.
Guru yang menjadi motivator, pendorong semangat peserta didiknya. Guru yang rela hidup dakam kekurangan tetapi tetap mengabdi demi kemajuan anak didiknya.Guru yang selalu berinovasi untuk membuat siswa lebih tertarik dan giat belajar. Berikut kisah perjuangan dan pengorbanan guru yang patut diteladani dalam melaksanakan tugas guru yang mulia:
1. Tjandra Heru Awan
Kegigihan dan keuletan di balik kebersahajaan sangat melekat di setiap sikap dan prilaku Tjandra Heru Awan. Dengan bekal ketekunan dan kegigihan, guru fisika di SMAN 10 Malang ini meraih beragam prestasi di tingkat nasional. Berbagai prestasi itu diukir melalui perjalanan hidupnya yang panjang. Sikap bersahaja itu pun menjadi daya pikat tersendiri bagi para muridnya. Apresiasi para murid tidak datang dengan sendirinya, namun melalui perjuangan yang keras dan melelahkan. Itu mengingat, bidang studi fisika selama ini sering dianggap sebagai pelajaran yang menakutkan.
Tjandra Heru selalu merasa penasaran pada kondisi semacam itu, sehingga dia ingin membuat para siswa belajar fisika dengan senang. Dia pun menemukan jawabannya, dengan membuat alat peraga sangat sederhana dan murah meriah. Makanya, tidak berlebihan bila banyak siswa yang mengenal Tjandra Heru berkat temuannya.
Mereka mengakui kepiawaian ayah dari empat anak dan dua cucu ini bila mengajarkan fisika. Saat mengajar, dia selalu menggunakan alat peraga yang lucu dan mudah dipahami. ”Pokoknya, pelajaran yang sulit bisa jadi gampang,” kata Dika. Pengakuan para siswa itu bukan isapan jempol belaka. Di antara alat peraga itu adalah tabung boyle, mesin uap sangat sederhana, kompas, AVO meter, tumbukan sederhana, paranglina (papan rangkaian listrik sederhana), elena (elektroskop sederhana), molimama (motor listrik matematik). Selain itu, dia juga membuat tabung berneulli, tabung apung tenggelam, cerio (cermin 2 in 1), prisma air, lensa air, tabung resonansi, lamp holder, magnet apung, dan lain-lain. Hebatnya, semua alat peraga buatan Tjandra ini tidak membutuhkan biaya yang mahal. Alat-alat itu terbuat dari barang-barang bekas seperti kertas, kaleng bekas roti, seng bekas, dan lain sebagainya.
Berkat kreativitas dan inovasi Tjandra, fungsi semua alat peraga yang sangat sederhana dan murah itu tidak kalah dengan alat peraga modern yang harganya pasti lebih mahal. ”Itu semua, sudah saya tekuni sejak 1976,” kata Tjandra ketika ditemui di SMAN 10 Malang. Menurut dia, membuat alat peraga dari barang bekas itu terilhami oleh banyaknya keluhan dari siswa yang belajar fisika. Mereka merasa sangat kesulitan bila mempelajari fisika. Keluhan serupa juga dia rasakan saat mengajar di SMAK Jember.
Lantas, dia hijrah ke Malang dengan niatan untuk melanjutkan studinya. Saat di Jember dia baru lulus diploma III, IKIP Malang, jurusan Matematika yang mengambil minor Fisika. Sesampainya di Malang, niat melanjutkan studi ke strata satu (S1) pun akhirnya hanya menjadi impian. Maklum, uang yang sudah disiapkan untuk biaya pendidikannya itu harus direlakan untuk biaya pengobatan anaknya, Renda Surenda Tjandra. Anak perempuannya ini terjangkit penyakit tifus. Ususnya bocor. Ada tujuh lubang di ususnya saat itu.
Tim medis yang menangani, terpaksa memutus sekitar 7 cm usus anaknya itu. Setelah dioperasi dan dipotong, ternyata bocor lagi. Dioperasi lagi, dan disambung lagi. Itu terjadi hingga lima kali. Akhirnya, dia frustrasi, karena tim medis yang menangani Renda juga sudah menilai secara medis tidak mungkin tertolong lagi. ”Sejak saat itu, saya hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah SWT. Saya berdoa kalau memang anak titipan ini Allah izinkan untuk saya asuh dengan baik, mohon diberi kesembuhan dan kesehatan. Waktu itu saya berdoa di masjid. Setelah itu, ternyata alhamdulillah, anak saya sembuh hingga sekarang,” ujar dia mengenang.
Meski anaknya sudah sembuh, dia tetap tidak bisa melanjutkan studinya. Bahkan, dia pun susah mencari kerja. Beberapa hari kemudian, suami Suciwati ini bertemu dengan teman kuliahnya, Muji Hartono seorang guru fisika di SMA Widya Dharma, Turen. Kala itu, dia diminta menggantikan mengajar fisika, karena Muji Hartono diangkat jadi dosen di IKIP Malang. Mulai saat itu, dia mengajar lagi. Namun, guru PNS yang kini berpangkat IIIB tersebut masih dalam kondisi yang serba kesusahan dan kesulitan. Akhirnya, dia bertemu Lukman Hakim (kini Dekan MIPA Universitas Negeri Malang) dan Ustad Mochtr Abdul Karim. Dua figur ini selalu memberikan semangat dan motivasi kepada Tjandra.
Tjandra pun mulai bangkit dan bersemangat lagi. Pada 1990 dia melamar menjadi guru PNS dalam usia 39 tahun. Tjandra diterima menjadi guru di SMPN 8 Kediri. Sejak saat itu, dia sering bolak-balik Malang-Kediri, karena keluarganya ada di Malang. Lantas, dia dipindah ke SMPN 17 Malang. Dia juga diminta temannya, Siswati membantu mengajar fisika di SMAN 10 Malang. Kehidupan Tjandra dan keluarganya mulai tertata dengan baik. Kreativitas dan sikap inovatifnya pun mulai tumbuh lagi sehingga dia sering mengikuti seminar, lomba, dan membuat alat peraga (http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1201923239)
2. Pak Eko
Pak Eko seorang guru Matematika di Purworejo yang dengan keterbatasannya dan tanpa gelar sarjana, tapi mampu menjadi guru tauladan yang mampu menggugah semangat belajar anak didiknya sehingga menjadikan pelajaran Matematika yang semula momok menjadi pelajaran favorit siswanya. Dimana nilai rata-rata siswa untuk pelajaran Matematika paling tinggi diantara mata pelajaran lain.
Pak Eko membawa masuk motornya ke dalam kelas hanya untuk mengajarkan pada siswanya tentang lingkaran. Atau alat-alat peraga lainnya yang ada di dalam kelas yang hanya dibuat dari kertas seadanya yang ada di sekelilingnya tapi mampu menjabarkan konsep matematika Pak Eko yang menarik bagi siswanya. Beliau juga tidak segan untuk memberikan hadiah-hadiah sederhana bagi siswa yang berhasil mengerjakan tugas yang diberikannya, yang semuanya berasal dari uang pribadi. (Pontianak Post, 2009)
3. Ibu Sri
Ibu Sri mengajarkan IPA di sebuah SD terpencil di Kabupaten Gunung Kidul. Walaupun lokasi yang jauh dan minimnya sarana dan prasarana tidak mematahkan niatnya untuk mengajar. Dia harus menempuh perjalanan 3 Km dengan kondisi geografis yang cukup terjal untuk sampai di SD tempatnya mengajar. Di sekolah dia harus membangkitkan motivasi anak didiknya yang belajar dalam keadaan perut kosong, karena hampir setiap hari mereka tidak sempat ”sarapan” karena tidak ada makanan di rumah.
Kesempatan untuk menikmati alat peraga IPA dari pemerintah yang ada 1 kali tiap 3 bulan (giliran alat peraga SD dalam satu gugus) membuat ibu Sri mengajak siswanya belajar langgsung ke alam terbuka (mengingatkan kita pada kisah ddalam Laskar Pelangi). (Pontianak Post, 2009)
Tentunya masih banyak kisah yang lain tentang pengabdian dan perjuangan seoarang guru dalam mengabdikan dirinya untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Untuk menjadi pendidik dalam keterbatasan (”cahaya lilin dalam kegelapan”) Arif Rahman seoarang pakar pendidikan menyatakan:
- Memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; bahwa tejeki sudah diatur oleh Allah SWT kita berdoa dan berusaha serta yakin pada kuasanya
- Mau berkorban dan ikhlas menerima kondisi yang ada
- Adanya tanggung jawab
- Adanya tekad ”Aku Bisa” membuat pendidik tidak putus asa dalam menjalankan tugasnya
- Tidak mengeluh, membuat pendidik terus termotivasi mencerdaskan bangsa
(Pontianak Post, 2009)