Bagaimana Memulai Menulis

Januari 13, 2010

Banyak yang ingin menulis ke media tapi bingung bagaimana memulainya. Ada dua cara:
1. Mempelajari teori menulis baru praktik;
2. Learn the hard way atau menulis dulu teori belakangan.
Terserah kita mana yang lebih enak dan nyaman. Tapi, berdasarkan pengalaman rekan-rekan di India yang tulisannya sudah banyak dimuat di media, alternatif kedua tampaknya lebih bagus. Rizqon Khamami, Zamhasari Jamil, A. Qisai, Tasar Karimuddin, Beben Mulyadi, Jusman Masga, Irwansyah, dan lain-lain semuanya belajar menulis dengan langsung mengirim tulisannya. Bukan dengan belajar teori menulis lebih dulu.

Saya sendiri merasa alternatif kedua lebih enak. Ini karena kemampuan daya serap saya terhadap teori sangat terbatas. Saya pernah mencoba belajar teori menulis. Hasilnya? Pusing. Bukan hanya itu, bahkan dalam belajar bahasa Inggris pun, saya cenderung langsung membaca buku, koran atau majalah. Pernah saya coba belajar bahasa Inggris dengan membaca grammar, hasilnya sama: pusing kepala.
Sulitkah Menulis?
Sulitkah menulis? Iya dan tidak. Sulit karena kita menganggapnya sulit. Mudah kalau kita anggap “santai”. Eep Saifullah Fatah, penulis dan kolomnis beken Indonesia, mengatakan bahwa menulis akan terasa mudah kalau kita tidak terlalu terikat pada aturan orang lain. Artinya, apa yang ingin kita tulis, tulis saja. Sama dengan gaya kita menulis buku diary. Setidaknya, itulah langkah awal kita menulis: menulis menurut gaya dan cara kita sendiri. Setelah beberapa kali kita berhasil mengirim tulisan ke media — dimuat atau tidak itu tidak penting– barulah kita dapat melirik buku-buku teori menulis, untuk mengasah kemampuan menulis kita. Jadi, tulis-tulis dahulu; baca teori menulis kemudian. Seperti kata Rhoma Irama, penyanyi kesayangan Malik Sarumpaet.
Topik Tulisan
Topik tulisan, seperti pernah saya singgung dalam posting beberapa bulan lalu, adalah berupa tanggapan tentang fenomena sosial yang terjadi saat ini. Contoh, apa tanggapan Anda tentang bencana gempa dan tsunami di Aceh? Apa tanggapan Anda seputar pemerintahan SBY? Apa tanggapan Anda tentang dunia pendidikan di Indonesia? Dan lain-lain.
Sekali lagi, usahakan menulis sampai 700 kata dan maksimum 1000 kata. Dan setelah itu, kirimkan langsung ke media yang dituju. Jangan pernah merasa tidak pede. Anda dan redaktur media tsb. kan tidak kenal. Mengapa mesti malu mengirim tulisan? Kirim saja dahulu, dimuat tak dimuat urusan belakangan. Keep in mind: Berani mengirim tulisan ke media adalah prestasi dan mendapat satu pahala. Tulisan dimuat di media berarti dua prestasi dan dua pahala. Seperti kata penulis dan ustadz KBRI, Rizqon Khamami.
Rendah Hati dan Sifat Kompetitif

Apa hubungannya menulis dengan kerendahan hati? Menulis membuat kita menjadi rendah hati, tidak sombong. Karena ketika kita menulis dan tidak dimuat, di situ kita sadar bahwa masih banyak orang lain yang lebih pintar dari kita. Ini terutama bagi rekan-rekan yang sudah menjadi dosen yang di mata mahasiswa-nya mungkin sudah paling ‘wah’ sehingga mendorong perasaan kita jadi ‘wah’ juga alias ke-GR-an.
Nah, menulis dan mengririm tulisan ke media membuat kita terpaksa berhadapan dengan para penulis lain dari dunia dan komunitas lain yang ternyata lebih pintar dari kita yang umurnya juga lebih muda dari kita. Di situ kita sadar, bahwa kemampuan kita masih sangat dangkal. Kita ternyata tidak ada apa-apanya. Ketika kita merasa tidak ada apa-apanya, di saat itulah sebenarnya langkah awal kita menuju kemajuan.
Kita juga akan terbiasa menghargai orang dari isi otaknya bukan dari umur atau senioritasnya apalagi jabatannya.
Di sisi lain, membiasakan mengirim tulisan ke media membuat sikap kita jadi kompetitif. Sekedar diketahui, untuk media seperti KOMPAS, tak kurang dari 70 tulisan opini yang masuk setiap hari, dan hanya 4 tulisan yang dimuat. Bayangkan kalau Anda termasuk dari yang empat itu. Itulah prestasi. Dan dari situlah kita juga belajar menghargai prestasi dan keilmuan serta kekuatan mental juara seseorang.
It’s your choice: you are either being a loser or a winner. Being a loser is easy. Just sit down in the chair, behind your desk. And feel comfort with your hallucination of being “a great guy” which is actually not, as a matter of fact.[]
Sumber: http://www.fatihsyuhud.com


Meresapi Gaya Orang Menulis

Januari 13, 2010

Terimakasih buat mas Afatih
Di bagian sebelumnya disebutkan bahwa cara terbaik memulai menulis adalah LEARN THE HARD WAY. Langsung menulis menurut insting, tanpa belajar teori; bak cowok atau cewek yang rajin menulis diary kala sedang jatuh cinta. Dan langsung dikirim ke media.
Cara lain adalah dengan BANYAK MEMBACA TULISAN/ARTIKEL ORANG yang sudah dimuat. Resapi tutur bahasanya. Teliti cara pengungkapan idenya.

Umumnya tulisan apapun tak luput dari tiga unsur: pengantar, isi dan penutup/kesimpulan. Ketiga unsur ini tak pernah disebut tapi bisa dirasakan. Semakin banyak kita membaca tulisan orang, akan semakin mudah kita menyerap dan membedakan mana yang pengantar, isi dan kesimpulannya; dan semakin mudah kita ‘meneladani’ gaya dan cara ekspresinya.Biasanya kita akan cenderung meniru gaya penulis tenar yang bentuk dan ide tulisannya paling sesuai dengan ide-ide kita. Rizqon, misalnya, yang cenderung terbawa gaya menulis Ulil Abshar-Abdalla, tokoh muda NU idolanya yang walaupun cuma lulus M.A. sudah sering memberikan general lectures di berbagai universitas beken Amerika seperti di Harvard Univ., Michigan Univ., dan lain-lain. Saat ini, Rizqon tampak sudah pindah meneladani gaya tulisan Saifuddin Zuhri, menteri agama RI era Sukarno yang produktif menulis. Anda bisa melihat gaya baru tulisan Rizqon Khamami ini dalam kumpulan tulisannya di situsnya: http://rizqonkham.blogspot.com
Sedangkan Zamakhsyari Jamil cenderung meniru gaya menulis tokoh pujaannya dari Riau, Tabrani Yunis, bekas tokoh Riau Merdeka, yang kolomnis tetap di koran Riau Pos. Tulisan-tulisan Tabrani Yunis yang slengekan dan tajam tampak mewarnai tulisan ustadz muda KBRI ini. Kumpulan tulisannya yang sudah dipublished maupun belum bisa Anda temui di situsnya http://e-tafakkur.blogspot.com
Saya sendiri, yang kata ayah saya “berotak lemah dan bodoh”, cenderung meniru gaya tulisan yang mudah dipaham orang, kendatipun saya tidak terfokus meniru satu gaya tertentu. Tulisan-tulisan Hamka, Amin Rais, Jalaluddin Rahmat sangat mudah dicerna otak saya yang lamban, dan mungkin sedikit banyak mempengaruhi gaya saya menulis.
Bagi Anda yang mulai teraspirasi dengan tulisan tokoh-tokoh terkenal nasional, silahkan berbagi pengalaman dengan menuliskannya di sini atau ke email saya. (bersambung…)

Sumber: http://www.fatihsyuhud.com


Menulis Bagaikan Naik Sepeda

Januari 13, 2010

Apa hubungan antara menulis dan naik sepeda? Ternyata banyak! Semua itu diulas di dalam artikel ini. Bagi Anda yang sedang berusaha untuk menulis, jangan sampai lupa naik sepeda…eh salah…baca artikel ini!

Dulu kalau ingin menulis lebih repot dibandingkan sekarang. Bayangkan kalau dulu kita ini orang Mesir kuno yang untuk menulis harus menggambar dan memahat batu. Salah sedikit saja batunya gumpil. Atau jadi orang nusantara jaman dulu yang menulisnya di daun lontar. Repot banget. Mungkin di antara kita pernah merasakan mengetik dengan mesin tik manual, yang kalau salah ngeselin banget. Di tip-ex, tiup biar kering, baru ketik lagi. Belum lagi kalau abis ngetik jari-jari jadi kapalan.
Kita yang hidup di jaman modern lebih gampang karena sudah ada komputer. Ingin hapus tinggal tekan tombol delete, bisa copy-paste. Enak banget. Tapi ternyata belum tentu skill menulis kita lebih tinggi dari orang jaman dulu.
Menulis itu seperti naik sepeda. Menulis adalah keahlian yang tidak bisa langsung dimiliki atau di-copy dari orang lain. Harus dialami sendiri. Melihat orang naik sepeda, rasanya gampang, tinggal naik, kayuh, jalan deh. Tetapi kalau sudah mengalami sendiri, baru terasa ternyata tidak mudah. Anda punya sepeda, belum tentu bisa naik sepeda kalau tidak dicoba. Anda punya komputer secanggih apapun kalau tidak pernah menulis ya nggak bakal bisa menulis.
Mengapa banyak orang merasa sulit menulis? Karena tidak pernah dilatih. Berapa banyak dari kita yang dulu waktu sekolah diminta untuk membuat paper atau tulisan untuk tugas sekolah. Lha wong pelajaran bahasa Indonesia cuma buat membaca, deklamasi doang. Kita tidak terbiasa menulis sejak kecil, terbiasanya cuma ngitung kancing kalau ada ujian. Kalau ada tugas membuat paper pun malah nyontek, jiplak sana jiplak sini. Padahal yang rugi Anda sendiri kalau dulu Anda nyontek. Dengan nyontek Anda tidak pernah belajar menuliskan pikiran Anda sendiri. Banyak dari kita membuang jatah ‘latihan menulis’ di sekolah. Yang rugi Anda sendiri toh.
Yah, itu mungkin masa lalu. Sekarang Anda ingin bisa menulis tetapi rasanya tidak pernah bisa. Ide mampet, dibaca kayanya jelek sekali. Itu semua hal biasa. Pernah belajar naik sepeda? Pernah jatuh, lecet, babak belur? Waktu dulu belajar naik sepeda, saya sempet masuk kali, nabrak warung (karena dulu saya tinggal di kampung). Bahkan setelah mahir naik sepeda pun saya masih bisa jatuh. Kalau ingin naik bisa naik sepeda, apa saya harus menyerah karena jatuh. Justru karena jatuh saya harus naik sepeda lagi, supaya bisa.
Supaya tidak stres waktu belajar naik sepeda, belajarlah naik sepeda perlahan-lahan. Jangan seperti saya. Belum pernah naik sepeda, langsung naik sepeda jengki punya orang dewasa (waktu itu saya masih imut-imut…duh imut-imut), hasilnya ya nabrak warung. Naiki sepeda sesuai kemampuan, misalnya pakai roda tiga dulu. Kalau menulis nulis yang ringan-ringan dulu, bikin diari, cerpen, kalo demen masak tulis resep, dll. Kalau sudah lumayan, copot rodanya hingga tinggal dua, makin lama bikin heboh lagi dengan berani akrobatik lepas setang. Mau lepas setang waktu pertama kali naik sepeda? Babak belur.
Kesulitan pertama pasti ada di awal, yaitu pada waktu belajar pertama kali. Setelah itu biasanya lebih mudah. Sama seperti naik sepeda. Pertama kali mau naik sepeda, groginya abis-abisan. Takut jatuh lah, takut diketawain lah. Biasa saja. Semua orang pernah belajar naik sepeda. Semua orang pernah jatuh. Bahkan penulis paling top pun pasti pernah ditolak naskahnya atau pernah butek nggak dapet ide. Sekarang kalau Anda sudah memiliki “sepeda” paling enak yang digunakan untuk menulis, alias komputer, pergunakanlah.
Suatu hari Forrest Gump sedang duduk sendirian dan menulis di buku catatannya di bangku taman. Sehelai bulu jatuh perlahan-lahan di bangku kosong di sebelahnya. Di depannya seorang anak sedang naik sepeda, kelihatannya ia sedang belajar karena berulang kali jatuh. Forest Gump hanya menggunam,”Life…er…writing is just like riding a bycicle.”
Hehehe
Menulis itu seperti naik sepeda.
Jatuh? Biasa. Naik lagi. Kayuh lagi. Gitu aja koq repot.

Oleh Didik Wijaya


Mitos-Mitos dalam Menulis

Januari 12, 2010


Ada banyak mitos yang bisa menghalangi Anda untuk menulis. Mitos seringkali sangat mempengaruhi pola pikir kita. Padahal belum tentu sebuah mitos seratus persen benar. Anda cukup lihat dengan sudut pandang yang berbeda, maka mitos itu tidak akan menghalangi Anda untuk menjadi penulis yang handal. Di sini akan dibahas beberapa buah mitos yang mengkin mengurungkan niat Anda untuk menulis.

Mitos 1 : Menulis membutuhkan BANYAK waktu

Hal ini sangat mengganggu terutama untuk orang yang baru mencoba menjadi penulis. Orang yang sangat sibuk tentu akan bingung membagi waktunya untuk menulis. Boro-boro menulis, pekerjaan kantor menumpuk di meja kerja, pekerjaan rumah tangga bejibun banyaknya, mengurus anak, dan segala macam urusan lainnya. Bahkan penulis yang sudah senior pun kadang susah menyempatkan diri mencari waktu untuk menulis.

Selain itu orang enggan menulis, karena membayangkan harus menulis sebegitu tebal, berapa lama waktunya, kapan selesainya. Ada benarnya menulis itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Beberapa penulis membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan tulisannya.

Tetapi sebenarnya Anda bisa membagi waktu yang sangat lama itu dalam waktu yang singkat tapi KONTINU. Anda dapat meluangkan waktu sedikit saja untuk menulis. Anda bisa lakukan itu saat menunggu antrian di salon, waktu naik kendaraan umum, atau Anda bisa saja mengurangi menonton sinetron tidak keruan yang ditayangkan di TV. Dengan waktu yang pendek tapi KONTINU maka Anda akan dapat menyelesaikan tulisan Anda dengan baik

Mitos 2 : Anda harus menulis sesuatu yang spektakular.

Banyk orang enggan menulis buku karena beranggapan mereka harus menulis sesuatu yang sensasional, dan tidak boleh yang kacangan. Mungkin ini ada kaitannya dengan gengsi. Pada dasarnya, setiap orang bebas menulis apa saja. Tidak melulu harus menulis sesuatu yang sangat rumit. Jika Anda menulis sesuatu yang sederhana pun, tidak menjadi masalah. Bila Anda bisa menuliskan dengan baik dan menarik, maka topik yang paling sederhana pun akan menjadi cerita yang menakjubkan.

Mitos 3 : Anda harus menjadi pakar sebelum bisa menulis

Ini adalah anggaan yang salah. Setiap orang berhak dan bisa menulis buku. Anda tidak harus menjadi seorang seorang ahli dalam bidang tertentu sebelum “boleh” menulis buku. Kata “boleh” saya beri tanda petik, karena ada beberapa orang yang beranggapan kalau menulis buku nanti kalau sudah jadi profesor baru berani menulis. Ini adalah anggapan yang salah, menulislah bahkan sewaktu Anda masih belajar. Apakah Anda pernah membaca buku Rich Dad Poor Dad? Apakah penulisnya menulis buku itu pada saat berlimpah kekayaan? Sama sekali tidak, justru ia menulis buku itu waktu sedang dalam keadaan melarat.

Mitos 4 : Anda harus menghasilkan tulisan yang sempurna

Mitos ini masih berkaitan dengan mitos sebelumnya, yaitu Anda harus menjadi pakar dulu baru “boleh” menulis. Lucunya, banyak orang sudah jadi pakar, tetapi malah belum menulis juga. Kenapa? Takut tulisannya tidak berbobot, gengsi kalau salah tulis, bahkan ragu apakah tulisannya layak dibilang tulisan yang baik. Seorang Stephen R Covey pernah menulis 7 Habits of Highly Effective People. Sekarang ia menulis The 8th Habit. Berarti apa yang ia tulis dahulu belumlah lengkap. Tidak masalah, bahkan ia bisa menjual ketidaksempurnaannya menjadi dua buah buku. Apakah ia akan menemukan ketidaksempurnaannya lagi sehingga menulis The 9th Habit? Why not?

Oleh: Didika Wijaya
http://www.escaeva.com/tips-menulis/tips-umum/meniru-dengan-kreatif.html


Meniru Dengan Kreatif

Januari 12, 2010


Meniru Dengan Kreatif

Memiliki naskah yang orisinal merupakan kebanggaan dan keinginan setiap penulis. Tidak ada penulis yang mau dituduh menyontek, menjiplak, plagiat (alias tukang nyolong). Bahkan penulis yang benar-benar plagiat pun akan menggeleng keras-keras kalau dituduh seperti itu karena tuduhan itu memang sama sekali tidak terhormat. Wajar saja, sejak mulai bersekolah kita selalu diajarkan untuk tidak menyontek.

Sayangnya tidak semua orang bisa memiliki kemampuan untuk menulis sesuatu yang orisinal dan unik. Yah, tidak dapat dipungkiri kemampuan setiap orang memang berbeda. Ada orang yang sanggup menulis masterpiece dalam sekejap mata. Sedangkan ada yang menulis selembar surat buat pacarnya saja sampai menghabiskan kertas satu rim. Tulisan ini tidak akan mengajarkan pada Anda bagaimana menghasilkan suatu naskah yang orisinal. Tetapi malah mengajarkan Anda untuk menjadi peniru—namun bukan sembarang peniru—yang kreatif.

Mari kita belajar dari pengalaman bangsa Jepang, bangsa yang saat ini sudah sangat maju dan menjadi tolok ukur perkembangan teknologi. Padahal kalau kita kembali tahun 1945, Jepang hancur lebur. Perekonomian hancur dan harga diri sebagai bangsa pun remuk redam. Tapi perlahan-lahan ia mulai bangkit dengan meniru. Ia memproduksi barang yang mirip buatan produk negara maju lain, tapi dengan berbagai modifikasi sederhana. Mungkin beberapa orang masih ingat kan tahun 1980-an ada stigma kalau “Made in Japan” adalah barang yang modelnya boleh keren tapi tidak awet. Tapi dari situ pelan-pelan Jepang mulai belajar menginovasi diri, dan sekarang malah menjadi inovator yang disegani.

Jadi menjadi peniru bukan hal yang dilarang. Lha, kita sendiri juga tiruan dari orang tua kita. Kalau tidak ada yang boleh meniru, penjual ayam goreng cuma ada satu sedunia. Tetapi faktanya setiap orang bisa menjual ayam goreng dengan gaya dan bumbu ala masing-masing. Namun ada syaratnya yaitu jangan jadi sembarang peniru, jadilah peniru yang kreatif. Jika Anda cuma asal menjiplak, ya siap-siap dihujat seluruh dunia. Nah untuk menjadi peniru yang kreatif Anda dapat menggunakan strategi ATM. Strategi ini dikenal dengan baik di dunia bisnis dan dapat Anda terapkan di dunia tulis menulis. ATM = AMATI, TIRU dan MODIFIKASI.

AMATI
Jika Anda berminat menulis bidang tertentu, carilah beberapa buku yang laris di bidang itu. Baca, amati, dan telaah apa yang mengakibatkan buku itu laris. Cari keunggulan apa yang dimilikinya, cari tahu pula kekurangannya. Pendek kata di sini Anda MELAKUKAN RISET UNTUK MENEMUKAN PELUANG menulis topik yang sama dengan cara berbeda.

TIRU
Tentu saja Anda harus tahu etika dan sejauh mana yang bisa diambil, dikutip, atau diadaptasi. Selama Anda bisa menjaga hal ini dan selama Anda tidak asal embat seperti kasus di sinetron Indonesia. Sebagai panduan, yang perlu Anda tiru adalah esensi tulisan yang ingin ditiru. Seperti kalau kita mencoba membuat ayam goreng, esensinya adalah menyajikan ayam goreng. Anda bisa meniru membuat ayam goreng dengan bumbu tepung ala sendiri atau mencoba sesuatu yang liar misalnya disajikan dengan bumbu petis (enak nggak sih?). Contoh novel yang mengambil esensi cerita lain misalnya Kung Pao Chicken Love yang ditulis oleh La Mian. Esensi atau topiknya adalah bagaimana kalau cowok yang kita cintai sebenarnya adalah mafia. Topik ini sebenarnya sudah diangkat dalam berbagai film, termasuk film drama asia seperti Married to The Mafia. Bahkan mungkin film ini pun terinspirasi oleh film barat Married to The Mob yang ceritanya tetang seorang gadis bule yang suaminya ternyata seorang mafia Italia. La Mian menulisnya dengan baik, mengembangkannya dengan unsur budaya Sunda, dan mencoba memasukkan gaya tulisannya sendiri. Intinya, Cobalah menulis ulang topik tersebut DENGAN GAYA ANDA SENDIRI. Ini penting. Jangan meniru mentah-mentah teknik atau gaya orang lain. Make it personal!

MODIFIKASI
Anda harus MEMBERIKAN SESUATU YANG BARU pada apa yang Anda tulis. Berdasar pengamatan sebelumnya misalnya Anda menulis dengan sudut pandang yang berbeda, memfokuskan pada sub-topik tertentu, mengadaptasi dengan nilai-nilai lokal, menambahi dengan pengetahuan Anda, membuat sanggahan atau malah dukungan pada topik tersebut, dan lain-lain.

Tidak semua bisa menjadi kecap nomor satu, karena memang cuma satu yang bisa. Inti dari tulisan ini adalah mungkin Anda tidak bisa menulis sesuatu yang orisinal, tetapi Anda bisa menulis sesuatu yang sudah pernah ditulis orang lain dengan gaya Anda sendiri, lebih baik, berbeda, dan memberikan nilai tambah pada orang lain.

Ingat ATM= Amati, Tiru, Modifikasi, jangan ATP=Amati, Tiru, Persis! (kalau yang ini kebangetan!)

Selamat Menulis

oleh Didik Wijaya
http://www.escaeva.com/tips-menulis/tips-umum/meniru-dengan-kreatif.html