Kumpulan soal dan pembahasan fisika SMPB

Februari 10, 2010

Berikut ini disajikan soal dan pembahasan fisika SMPB. Bagi yang mengikuti SPMB bisa dijadikan sebagai bahan latihan untuk mempersiapkan diri menghadapi SMPB. Mudah-mudahan bermanfaat dan diterima di Universitas atau institut yang dituju.

1. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 1990 download disini

2. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 1991 download disini

3. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 1992 download disini

4. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 1993 download disini

5. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 1994 download disini

6. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 1995 download disini

7. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 1997 download disini

8. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 1998 download disini

9. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 1999 download disini

10. Soal dan pembahasan fisika SMPB tahun 2000 download disini

Apabila ada soal yang tak bisa diselesaikan pada saat mengikuti SPMB jangan mencoba untuk menebak karena jika jawaban yang dipilih keliru akan mengurangi skor


Didaktogenic

Februari 10, 2010

Leo Sutrisno

Salah seorang pembaca merespon tulisan berseri ‘diagnose dan remediasi’ ini sembari menyarankan agar dibahas penyebab miskonsepsi. Tulisan ini menyajikan telaah tentang penyebab miskonsepsi yang bersumber pada guru dan buku teks.

Dalam bidang kedokteran ada istilah ‘iatrogenic disease’ yang merujuk ‘ailments’ yang disebabkan oleh dokter. Dalam pendidikan, penomena semacam juga dapat terjadi. Guru dan buku teks dapat menyebabkan miskonsepsi. Istilah ‘didaktogenic’ digunakan untuk mewadahi penjelasan-penjelasan guru atau sajian dalam buku teks yang dapat menimbulkan miskonsepsi. Sejumlah mahasiswa S1 Program Studi pendidikan fisika FKIP Untan telah meneliti topic ini dalam skripsi mereka.

Miskonsepsi dapat terjadi pada siapa saja, siswa, guru, pengarang buku ajar, dan bahkan pakar pun juga sesekali mengalaminya. Miskonsepsi para siswa datang dari berbagai arah. Dari kemampuan berpikir siswa sendiri, dari pengalaman sebelumnya, dari proses pembelajaran, dari penjelasan guru, atau dari sajian dalam buku teks. Miskonsepsi guru bisa diperoleh dari pendidikan dan latihan, interpretasi yang dibuat sendiri pada saat membaca buku teks atau bahkan dari buku teks itu sendiri yang diterima tanpa kritik. Miskonsepsi dalam buku teks dapat berasal dari penulisnya dan juga mungkin dari editornya. Miskonsepsi pakar dapat terjadi karena berbagai hal. Di antaranya, sudut pandang atau asumsi yang digunakan.

Miskonsepsi merupakan sesuatu yang menantang dalam pendidikan karena proses pendidikan tidak ‘reversable’, tidak dapat “dibaléni” –diproses-ulang. Miskonsepsi yang terjadi pada saat guru menjelaskan tidak dapat diulangi di lain tahun. Apa lagi kalau siswa sudah lulus dari sekolah yang bersangkutan Proses ini sangat berbeda dari proses produksi dalam suatu pabrik. Produk-produk yang yang tidak standar pada sebuah pabrik paku misalnya dapat dipisahkan dan kemudian diproses ulang. Dalam pendididkan tidak mungkin dilakukan proses ulang.

Selain itu, khusus di Indonesia, hingga kini soal-soal ujian yang dibuat oleh para ahli di tingkat nasional dan soal ulangan yang dibuat oleh para guru di lapangan tidak pernah menggali miskonsepsi. Sementara itu, sering terjadi, karena sifat soalnya, walaupun memiliki miskonsepsi siswa masih dimungkinkan dapat menjawab betul soal-soal ujian atau ulangan itu. Karena itu, siswa cenderung mempertahankan miskonsepsinya. Bahkan, tidak merasakan ada sesuatu yang ‘mis’, yang keliru.

Penjelasan para guru yang kurang lengkap juga cenderung menimbulkan miskonsepsi. Penelitian tentang catatan, para siswa tetap saja menggunakan penjelasan gurunya yang keliru keliru itu untuk menjawab soal-soal yang dihadapinya. Karena, mereka tidak berani berbeda pendapat dengan para gurunya. Mereka takut akan memperoleh nilai yang kurang jika berbuat demikian.
Catatan siswa, terutama kelas rendah merupakan bukti autentik dari kekeliruan yang dilakukan para guru karena pada umumnya semua para guru di Indonesia menekankan bahwa catatan siswa harus ‘ dengan yang ditulis di papan tulis atau yang didektekannya.

Penggunaan analogi oleh para guru untuk menjelaskan suatu penomena, kalau kurang tepat juga dapat menimbulkan miskonsepsi. Analagi merupakan salah satu cara berpikir untuk memahami sesuatu dengan membandingkannya dengan sesuatu yang lain. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari masalah yang sangat sukar diselesaikan karena banyak hal yang terkait di dalamnya dianalogikan dengan benang kusut. Benang kusut itu sukar untuk diurai, mana yang simpul mana yang ujung tidak mudah ditemukan. Demikian juga masalah yang rumit dapat diibaratkan sebagai benang kusut.

Para guru sering menggunaan analogi dalam menjelaskan penomena fisika yang sukar divisualisasikan. Misalnya, dalam menjelaskan penomena pembiasan cahaya para guru sering menggunakan analogi seperti Gambar 1.
Pipa sedotan dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air jernih. Tampak sedotan itu patah. Mengapa itu terjadi? Karena ada peritiwa pembiasan cahaya yang merambat dari sedotan ke mata melalui air (bagian awah) dan tanpa melalui air (bagian atas). Kemudian dikatakan, karena cahaya merambat melalui medium yang berbeda maka dibiaskan.

Peristiwa pembiasan yang baru saja disampaikan itu, tidak sama dengan yang terjadi di dalam ilustrasi Gambar 1. Perhatikan!. Besar pipanya berbeda antara bagian yang di tercelup air dan bagian tidak tercelup air. Peristiwa itu terjadi lebih disebabkan oleh pembiasan pada permukaan gelas yang berbentuk silinder ketimbang oleh karena permukaan air dalam gelas itu. Karena itu analogi seperti ini juga berpotensi menimbulkan miskonsepsi.

Sejumlah miskonsepsi juga dapat terjadi karena penjelasan yang disampaikan guru kurang rinci. Misalnya, penomena cahaya, : pemantulan, pembiasan, difraksi, dan interferensi hampir sepenuhnya dapat dijelaskan dengan ilustrasi gelombang permukaan air (ripple tank). Namun, perlu diingatkan bahwa ada beberapa pengecualian. Polarisasi cahaya dapat berlasung pada semua arah. Sebaliknya, polarisasi gelombang permukaan air hanya satu arah. Kedua, gelombang permukaan air memerlukan medium, sebaliknya cahaya tidak memerlukan medium. Energi gelombang medium berbanding terbalik dengan jarak karena hanya dua dimensi. Sementara itu, energi cahaya berbanding terbalik dengan kuadrat jarakkarena berdimensi ruang. Pengecualian-pengecualian seperti ini sebaiknya disampaikan kepada para siswa.

Belakangan ini muncul didaktogenic baru yaitu kecenderungan sebagian guru yang mendorong siswanya memilih jawaban yang betul dengan menggunakan soal-soal berbentuk objektif tanpa mendorong mencari penjelasannya. Bahkan banyak siswa yang berpendapat bahwa yang penting betul jawabannya dan bukan ‘mengapa’-nya. Hal ini dipicu oleh pelaksanaan UAN yang memang menggunakan bentuk soal objektik pilihan ganda. Para guru disarankan agar dalam kesempatan-kesempatan yang lain mendorong siswa berpikir yang lebih luas ketimbang hanya tahu jawaban yang benar saja.

Kata-kata ‘aksi sama dengan reaksi’, ‘setiap kejadian pasti ada penyebabnya’ juga dapat menyebabkan miskonsepsi kalau tidak dipergunakan dengan seksama.

Inilah beberapa contoh didaktogenic yang mungkin dapat dialami tanpa disadari oleh para guru. Diharapkan, para guru mempelajari materi lebih luas dan mendalam sebelum menjelaskan materi-materi fisika kepada siswa di kelas agar didaktogenic dapat diperkecil. Tentu saja ini juga berlaku untuk para dosen. Semoga!


Diagnose dan remediasi kesulitan belajar 1: Pendahuluan

Februari 10, 2010

Leo Sutrisno

Dalam beberapa pertemuan dengan sejumlah guru yang sedang mengikuti kegiatan PLPG 2008 yang lalu, diperoleh sejumlah saran tentang tulisan yang disajikan secara berseri di Pontianak Post. Salah satu di antaranya menyarankan agar disajikan tulisan tentang kegiatan remedial. Karena, sejak  diterapkannya kurikulum baru yang menggunakan pendekatan belajar tuntas kegiatan remedial harus dilaksanakan oleh setiap guru.

Pendekatan belajar tuntas menggunakan prinsip: ’Jika materi A merupakan prasyarat untuk mempelajari materi B maka hanya siswa yang telah menguasai materi A secara tuntas baru dibolehkan mempelajari materi B’.  Kriteria yang digunakan oleh para guru untuk menetapkan ketuntasan belajar siswa saat ini Standar Kompetensi Minimum, yang dinyatakan dilai bentuk skor (nilai). Mereka yang memeliki nilai kurang dari (nilai) Standar Kompetensi Minimum itu diwajibkan mengikuti kegiatan remedial, yaitu dengan cara mengikuti tes ulang beberapa kali hingga mencapai nilai stadar kopmpetensi minimum  tersebut. Dengan perkataan lain, kegiatan remedial seperti ini bertujuan unutk meningkatkan nilai agar mencapai nilai standar.

Dalam tulisan berseri ke depan dengan tema diagnose dan remediasi kesulitan belajar bukan arti seperti itu. Tetapi, hal itu berupa kegiatan yang bertujuan membantu para siswa dalam mengatasi kesulitan belajar yang mereka alami dengan fokus mengubah konsepsi siswa agar menjadi konsisten dengan konsepsi para ilmuwan.

Dipahami, dalam proses pembelajaran, para siswa aktif mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (aktif menyusun konsepsinya sendiri) melalui interaksi dengan para guru dan teman-temannya dengan cara membuat hubungan (link). Hasilnya berupa konsepsinya  (Baca: pengetahuannya) sendiri tentang materi yang sedang dipelajari. Sudah barang tentu ada konsepsi mereka yang sudah konsisten dengan konsepsinya para inuwan, tetapi juga ada yang berbeda dengan konsepsi ilmuwan. Konsepsi siswa yang berbeda dari konsepsi para ilmuwan disebut miskonsepsi.

Fokus dari remeiasi yang ada dalam seri tulisan ini adalah memperbaiki miskonsepsi yang dimiliki para siswa agar menjadi konsisten dengan konsepsi ilmuwan. Sedangkan diagnosenya merupakan kegiatan menggali miskonsepsi para siswa. Kegiatan diagnose ini sering dilakukan dengan cara mengadakan tes diagnostik. Gambar 1 menyajikan alur kegiatan itu. Diawali dengan melakukan asesmen kepada siswa setelah selesai mengikuti proses pembelajaran untuk menentukan para iswa yang telah tuntas dan yang belum. Mereka yang belum tuntas diberi tes diagnostik unutk menemukan miskonsepsi mereka. Berdasarkan miskonsepsi yang ditemukan disusun kegiatan remediasi unutk ’membongkar’ miskonsepsi mereka dan bersedia menerima konsepsi ilmuwan.

Mencermati diagram alur yang tersaji pada Gambar 1 itu, terlihat bahwa kegiatan remediasi tidak serta merta menghasilkan nilai siswa sedemikian ruoa sehingga mencapai standar kompetensi minimum. Kegiatan remediasi mendobrak miskonsepsi. Siharapkan setelah tidak mis lagi, siswa yang bersangkutan tidak lagi mengalami kesulitan dalam mengikuti asesmen hasil belajar. Dengan begitu, diharapkan hasil asesmennya menunjukkan bahwa siswa yang bersangkutan telah memenuhi standar kompetensi minimum.


Didaktogenic Buku Ajar

Februari 10, 2010

Leo Sutrisno

Ada esem-es pembaca yang kurang yakin bahwa ada buku ajar yang mengandung didaktogenic-punya kecenderungan menimbulkan miskonsepsi pada siswa. Dalam es-em-es itu dikatakan bahwa buku ajar itu ditulis oleh orang yang pandai, buku ajar itu telah lolos koreksi para editor, buku ajar itu telah lolos dalam ujian waktu, bertahun-tahun menggunakan buku itu dan tidak ada yang ’komplin’ (berkeberatan). Bahkan banyak siswanya (Jadi, esemes ini dari seorang guru, pen.) yang lulus dengan nilai tinggi pada mata pelajaran fisika.

Beberapa mahasiswa program studi pendidikan fisika, jurusan pendidikan MIPA-FKIP Untan sudah dan sedang membuat skrips tentang miskonsepsi yang disajikan oleh sejumlah buku ajar fisika yang beredar di Kalimantan Barat. Mungkin, kelak dapat juga ditampilkan disini untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam tulisan ini akan disajikan salah contoh sajian buku ajar tentang cahaya yang mudah ditemukan di banyak buku ajar.

Pembiasan lensa
Pada Gambar 1, disajikan contoh gambar sinar-sinar istimewa pada lensa cembung. Mari kita cermati dengan seksama. Berkas cahaya yang memancar dari lilin dibagi menjadi tiga macam berkas yaitu berkas yang sejajar sumbu utama (1), berkas cahaya yang melewati pusat optis (2), dan berkas cahaya yang melalui titik api (3). Berkas (2) tidak mengalami pembiasan karena katanya lewat pusat optis. Cukupkah alasan itu? Tidak!. Mengapa? Semua berkas cahaya yang datang pada permukaan lensa dibiaskan kecuali yang datang dari ari yang tegak lurus bidang permukaan lensa. Berkas (2) tidak datang tigak lurus bidang permukaan lensa, karena itu berkas (2) dibiaskan.

Berkas (1) dan berkas (3) juga berpotensi menimbulkan miskonsepsi karena peristiwa pembiasannya berlangsung pada bidang tengah lensa. Sebenarnya, pembiasan terjadi dipermukaan lensa. Karena, di situ terjadi perbedaan indeks bias, kecepatannya berubah.

Gambar 1 semacam ini muncul hampir di buku-buku fisika dasar dan juga di banyak buku ajar SMA. Memang, tampaknya tidak bermasalah bagi orang yang telah tahu. Tetapi, bagi banyak guru, yang kurang berani mengkritisi isi buku ajar yang dipegangnya, gambar semacam ini diteruskan kepada para siswanya.
Gambar 1

Pemantulan

Gambar 2 juga mengandung didatogenic. Mari kita coba menggambarkan berkas cahaya istimewa yang lain. Berkas itu berasal dari ujung nyala lilin merambat menuju titik api di depan lensa kemudian datang pada permukaan cermin cekung dan dipantulkan dengan arah sejajar dengan sumbu utama. Apa yang terjadi? Ternyata, berkas sinar pantul itu tidak melewati ujung bayangan lilin. Seharusnya melewati!
Sebagian guru dan penulis akan mengatakan ada pengaruh ’aberasi’. Betul! Terjadi aberasi. Namun, apakah harus sefatal itu?!
Gambar 2

Mata

Ilustrasi Gambar 3, yang juga banyak ditiru di Indonesia, memperlihatkan bahwa tidak ada pembiasan berkas cahaya yang masuk mata. Padahal, sebenarnya begitu memasuki kornea, cahaya langsung dibiaskan. Lensa mata berfungsi ’membetulkan’ agar bayangannya tepat jatuh di retina. Proses pembiasan utama terjadi di cornea. Tetapi, sebagian besar gambar ilustrasi pembiasan pada mata menunjukkan peristiwa pembiasan terjadi hanya pada lensa mata.

Kita juga dapat melihat bahwa Gambar 3 itu menunjukkan persamaan dan perbedaan antara kamera dan mata. Tetapi, kita temukan bahwa perbandingan itu tidak betul. Mari kita lihat. Berkas cahaya yang masuk ke mata melalui pusat optik lensa, karena itu tidak dibiaskan. Tidak demikian halnya pada kamera. Tidak ada satu berkas pun yang melewati pusat lensa.
Gambar 3

Mari kita perhatikan bayangan yang terbentuk pada kamera. Apakah seperti itu?

Inilah sejumlah ilustrasi pada buku teks universitas yang banyak ditiru oleh penulis mata pelajaran fisika di Indonesia, juga buku terjemahannya, yang termasuk mengandung didaktogenic. Disarankan para pemakai hendaknya mengembangkan pemikiran kritisnya.