Leo Sutrisno
Salah seorang pembaca merespon tulisan berseri ‘diagnose dan remediasi’ ini sembari menyarankan agar dibahas penyebab miskonsepsi. Tulisan ini menyajikan telaah tentang penyebab miskonsepsi yang bersumber pada guru dan buku teks.
Dalam bidang kedokteran ada istilah ‘iatrogenic disease’ yang merujuk ‘ailments’ yang disebabkan oleh dokter. Dalam pendidikan, penomena semacam juga dapat terjadi. Guru dan buku teks dapat menyebabkan miskonsepsi. Istilah ‘didaktogenic’ digunakan untuk mewadahi penjelasan-penjelasan guru atau sajian dalam buku teks yang dapat menimbulkan miskonsepsi. Sejumlah mahasiswa S1 Program Studi pendidikan fisika FKIP Untan telah meneliti topic ini dalam skripsi mereka.
Miskonsepsi dapat terjadi pada siapa saja, siswa, guru, pengarang buku ajar, dan bahkan pakar pun juga sesekali mengalaminya. Miskonsepsi para siswa datang dari berbagai arah. Dari kemampuan berpikir siswa sendiri, dari pengalaman sebelumnya, dari proses pembelajaran, dari penjelasan guru, atau dari sajian dalam buku teks. Miskonsepsi guru bisa diperoleh dari pendidikan dan latihan, interpretasi yang dibuat sendiri pada saat membaca buku teks atau bahkan dari buku teks itu sendiri yang diterima tanpa kritik. Miskonsepsi dalam buku teks dapat berasal dari penulisnya dan juga mungkin dari editornya. Miskonsepsi pakar dapat terjadi karena berbagai hal. Di antaranya, sudut pandang atau asumsi yang digunakan.
Miskonsepsi merupakan sesuatu yang menantang dalam pendidikan karena proses pendidikan tidak ‘reversable’, tidak dapat “dibaléni” –diproses-ulang. Miskonsepsi yang terjadi pada saat guru menjelaskan tidak dapat diulangi di lain tahun. Apa lagi kalau siswa sudah lulus dari sekolah yang bersangkutan Proses ini sangat berbeda dari proses produksi dalam suatu pabrik. Produk-produk yang yang tidak standar pada sebuah pabrik paku misalnya dapat dipisahkan dan kemudian diproses ulang. Dalam pendididkan tidak mungkin dilakukan proses ulang.
Selain itu, khusus di Indonesia, hingga kini soal-soal ujian yang dibuat oleh para ahli di tingkat nasional dan soal ulangan yang dibuat oleh para guru di lapangan tidak pernah menggali miskonsepsi. Sementara itu, sering terjadi, karena sifat soalnya, walaupun memiliki miskonsepsi siswa masih dimungkinkan dapat menjawab betul soal-soal ujian atau ulangan itu. Karena itu, siswa cenderung mempertahankan miskonsepsinya. Bahkan, tidak merasakan ada sesuatu yang ‘mis’, yang keliru.
Penjelasan para guru yang kurang lengkap juga cenderung menimbulkan miskonsepsi. Penelitian tentang catatan, para siswa tetap saja menggunakan penjelasan gurunya yang keliru keliru itu untuk menjawab soal-soal yang dihadapinya. Karena, mereka tidak berani berbeda pendapat dengan para gurunya. Mereka takut akan memperoleh nilai yang kurang jika berbuat demikian.
Catatan siswa, terutama kelas rendah merupakan bukti autentik dari kekeliruan yang dilakukan para guru karena pada umumnya semua para guru di Indonesia menekankan bahwa catatan siswa harus ‘ dengan yang ditulis di papan tulis atau yang didektekannya.
Penggunaan analogi oleh para guru untuk menjelaskan suatu penomena, kalau kurang tepat juga dapat menimbulkan miskonsepsi. Analagi merupakan salah satu cara berpikir untuk memahami sesuatu dengan membandingkannya dengan sesuatu yang lain. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari masalah yang sangat sukar diselesaikan karena banyak hal yang terkait di dalamnya dianalogikan dengan benang kusut. Benang kusut itu sukar untuk diurai, mana yang simpul mana yang ujung tidak mudah ditemukan. Demikian juga masalah yang rumit dapat diibaratkan sebagai benang kusut.
Para guru sering menggunaan analogi dalam menjelaskan penomena fisika yang sukar divisualisasikan. Misalnya, dalam menjelaskan penomena pembiasan cahaya para guru sering menggunakan analogi seperti Gambar 1.
Pipa sedotan dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air jernih. Tampak sedotan itu patah. Mengapa itu terjadi? Karena ada peritiwa pembiasan cahaya yang merambat dari sedotan ke mata melalui air (bagian awah) dan tanpa melalui air (bagian atas). Kemudian dikatakan, karena cahaya merambat melalui medium yang berbeda maka dibiaskan.
Peristiwa pembiasan yang baru saja disampaikan itu, tidak sama dengan yang terjadi di dalam ilustrasi Gambar 1. Perhatikan!. Besar pipanya berbeda antara bagian yang di tercelup air dan bagian tidak tercelup air. Peristiwa itu terjadi lebih disebabkan oleh pembiasan pada permukaan gelas yang berbentuk silinder ketimbang oleh karena permukaan air dalam gelas itu. Karena itu analogi seperti ini juga berpotensi menimbulkan miskonsepsi.
Sejumlah miskonsepsi juga dapat terjadi karena penjelasan yang disampaikan guru kurang rinci. Misalnya, penomena cahaya, : pemantulan, pembiasan, difraksi, dan interferensi hampir sepenuhnya dapat dijelaskan dengan ilustrasi gelombang permukaan air (ripple tank). Namun, perlu diingatkan bahwa ada beberapa pengecualian. Polarisasi cahaya dapat berlasung pada semua arah. Sebaliknya, polarisasi gelombang permukaan air hanya satu arah. Kedua, gelombang permukaan air memerlukan medium, sebaliknya cahaya tidak memerlukan medium. Energi gelombang medium berbanding terbalik dengan jarak karena hanya dua dimensi. Sementara itu, energi cahaya berbanding terbalik dengan kuadrat jarakkarena berdimensi ruang. Pengecualian-pengecualian seperti ini sebaiknya disampaikan kepada para siswa.
Belakangan ini muncul didaktogenic baru yaitu kecenderungan sebagian guru yang mendorong siswanya memilih jawaban yang betul dengan menggunakan soal-soal berbentuk objektif tanpa mendorong mencari penjelasannya. Bahkan banyak siswa yang berpendapat bahwa yang penting betul jawabannya dan bukan ‘mengapa’-nya. Hal ini dipicu oleh pelaksanaan UAN yang memang menggunakan bentuk soal objektik pilihan ganda. Para guru disarankan agar dalam kesempatan-kesempatan yang lain mendorong siswa berpikir yang lebih luas ketimbang hanya tahu jawaban yang benar saja.
Kata-kata ‘aksi sama dengan reaksi’, ‘setiap kejadian pasti ada penyebabnya’ juga dapat menyebabkan miskonsepsi kalau tidak dipergunakan dengan seksama.
Inilah beberapa contoh didaktogenic yang mungkin dapat dialami tanpa disadari oleh para guru. Diharapkan, para guru mempelajari materi lebih luas dan mendalam sebelum menjelaskan materi-materi fisika kepada siswa di kelas agar didaktogenic dapat diperkecil. Tentu saja ini juga berlaku untuk para dosen. Semoga!