Meta-Analisis

Februari 15, 2010

Meta-analisis adalah tehnik yang digunakan untuk merangkum berbagai hasil penelitian secara kuantitatif dengan cara mencari nilai efek size ( Barbora 2009; Sutrisno, Hery, Kartono 2007 ). Efek size dicari dengan cara mencari selisih rata-rata kelas eksperimen dengan rata-rata kelas control, kemudian dibagi dengan standar deviasi kelas control.

Tahapan dalam mengerjakan meta-analisis (Jammie 2004; Sutrisno, Hery, Kartono 2007)
1. menetapkan domain penelitian yang akan dirangkum
2. memilih jenis publikasi yang akan dikumpulkan
3. mengumpulkan hasil penelitian atau literatur
4. mencatat data-data (variabel-variabel) penelitian
5. menghiting efek size per sumber atau penelitian
6. menginterpretasi rangkuman dan membuat laporan

Data-data penting yang dicatat dari hasil peneltian yang dirangkum antara lain:
1. variable bebas dan variable terikat beserta definisi konseptual dan definisi operasionalnya,
2. variable metodolgi, missal: jenis penelitian, cara pengambilan sample, statistic yang digunakan dalam analisis, jenis instrumen dan karaktristiknya
(Sutrisno, Hery, Kartono 2007)


Pembelajaran Sains Di Sekolah

Januari 11, 2010

MENYOAL PEMBELAJARAN SAINS DI SEKOLAH: BAGAIMANA SEHARUSNYA?
(Oleh : Tomo Djudin)
Abstrak
Teachers’ understanding on the nature of science will determine types of students learning activities in the class. In designing a science teaching-learning process meaningfully, a teacher should consider and pay attention to the learning activities. They are (1) logical plane activities; (2) evidental or experiental plane activities; (3) psychological plane activities.
A science text-books centered teaching should be modified because, the students comprehension about science products (concept and principles) could not be developed meaningfully by using text-books only. This culture is also contrary with the nature of science and is not able to build a science and technology literate people.

Key words: Teacher’s understanding; learning activities

PENDAHULUAN
Mengajar sains kah saya? Jika ya atau tidak, darimana saya tahu? Pertimbangan apa yang akan meyakinkan jawaban saya itu? Inilah dua pertanyaan yang mungkin muncul dalam pikiran guru sebelum, ketika atau sesudah mengajar sains. Pertanyaan ini, sesungguhnya juga terkait pada pertanyaan “ apakah sebenarnya sains dan pendidikan sains itu?”. Sebab, pengetahuan seorang guru tentang apa yang sesungguhnya yang akan atau sedang diajarkan akan mempengaruhi proses pembelajaran yang terjadi (Harlen, 1992:3). Di Amerika, pertanyaan “apakah sains itu” ditanggapai beragam oleh guru. Pertanyaan ini dianggap tak penting untuk dijawab karena tak diajarkan secara langgsung di sekolah dan dianggap hanya akan menghabiskan waktu. Ziman (1968:35) menyatakan bahwa ada guru yang menganggap pertanyaan ini misterius dan teka-teki. Mereka merasa tak perlu dilibatkan berfilsafat semacam itu. Tetapi sebagian lagi, justru menganggap pertanyaan ini merupakan hal yang penting. Menurut mereka, mempertanyakan dan pemahaman tentang ”apakah sains itu” akan ”mewarnai” proses pembelajaran di kelas. Abruscato (1982:7) mengingatkan bahwa pemahaman yang berbeda tentang hakikat sains dapat menyebabkan penekanan aspek-aspek pembelajaran sains di sekolah, apakah produk atau proses dan pemilihan aktivitas pembelajaran. Apabila guru memahami sains sebagai produk saja, misalnya, maka pembelajaran akan cenderung sebagai proses akumulasi pengetahuan (produk) faktual. Penulis sependapat dengan Abruscato. Pentingnya guru memahami hakikat sains terindikasi secara eksplisit dengan adanya kenyataan bahwa beberapa buku pembelajaran sains (Harlen, 1985; Abruscato, 1982; Rutherford dan Ahlgren, 1990; Carin, 1997) meletakan pertanyaan ”apakah sains itu sebenarnya” pada bab pertama.
Penekenan pembelajaran sains seharusnya terletak pada ”how children learn and not just what the students learn – Bagaimana siswa belajar, bukan hanya pada apa yang dipelajari siswa” (Harlen, 1985). Karena itu, peranan guru sebelum, pada saat, dan sesudah pembelajaran sains menjadi hal yang sangat penting. Salah satunya adalah dalam memilih model pembelajaran sains yang sesuai dengan hakikat sains, materi ajar (konten), konteks atau lingkungan belajar, serta tingkat perkembangan intelektual siswa. Inilah salah satu kompetensi guru sains yang perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Apakah sains itu, bagaimanakah pandangan konstruktivisme tentang pembentukan pengetahuan dan pemebelajaran sains dan model yang konsisten dengan hakikat sains — LEP model — akan dibahas secara singkat dalam tulisan ini.

HAKIKAT DAN PEMBELAJARAN SAINS
Agaknya sulit memilih satu definisi yang paling lengkap (komprehensif) diantara beberapa definisi tentang hakikat sains. Perbedaan definisi ini menjadi wajar karena adanya perbedaan latar belakang keahlian pendefinisiannya (sebagai seoarang pakar pendidikan sains, filsof atau saintis). Namun, dari beberapa pengertian hakikat sains dapat disarikan suatu definsi yang lebih komprehensif yang paling mengaitkan dimensi sains sebagai pengetahuan, proses dan produk, penerapan dan sarana pengembangan nilai dan sikap tertentu seperti berikut ini:
1. Sains adalah pengetahuan yang mempelajari, menjelaskan, dan menginvestigasi fenomena alam dengan segala aspeknya yang bersifat empiris.
2. Sains sebagai proses atau metode dan produk. Dengan menggunakan metode ilmiah yang sarat keterampilan proses, mengamati, mengajukan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis serta mengevaluassi data, dan menarik kesimpulan terhadap fenomena alam akan diperoleh produk sains, misalnya: fakta, konsep, prinsip dan generalisasi yang kebenarannya bersifat tentatif.
3. Sains dapat dianggap sebagai aplikasi. Dengan penguasaan pengetahuan dan produk sains dapat dipergunakan untuk menjelaskan, mengolah dan memanfaatkan, memprediksi fenomena alam serta mengembangkan disiplin ilmu lainnya dan teknologi.
4. Sains dapat dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan sikap dan nilai-nilai tertentu, misalnya: nilai, religius, skeptisme, objektivitas, keteraturan, sikap keterbukaan, nilai praktis dan ekonomis dan nilai etika atau estetika.
Implikasi dari pemahaman hakikat sains dalam proses pembelajaran dijelaskan Carin & Sund (1989:16) dengan memberikan petunjuk sebagai berikut:
1. Para siswa/mahasiswa perlu dilibatkan secara aktif dalam aktivitas yang didasari sains yang merefleksikan metode ilmiah dan keterampilan proses yang mengarah pada diskoveri atau inkuiri terbimbing.
2. Para siswa/mahasiswa perlu didorong melakukan aktivitas yang melibatkan pencarian jawaban bagi masalah dalam masyarakat ilmiah dan teknologi.
3. Para siswa/mahasiswa perlu dilatih ”learning by doing = belajar dengan berbuat sesuatu” dan kemudian merefleksikannya. Mereka harus secara aktif mengkonstruksi konsep, prinsip, dan generalisasi melalui proses ilmiah.
4. Para guru perlu menggunakan berbagai pendekatan/model pembelajaran yang bervariasi dalam pembelajaran sains. Siswa/mahasiswa perlu diarahkan juga pada pemahaman produk dan konten materi ajar melalui aktivitas membaca, menulis dan mengunjungi tempat tertentu.
5. Para siswa perlu dibantu untuk memahami keterbatasan/ketentatifan sains, nilai-nilai, sikap yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran sains di masyarakat sehingga mereka dapat membuat keputusan.

BAGAIMANA SISWA BELAJAR SAINS: DASAR TEORITIS

Teori belajar konstruktivisme mempunyai pengaruh besar terhadap upaya pengembangan model-model pembelajaran yang bertujuan membantu siswa memahami konsep-konsep secara benar. Para guru umumnya telah menyadari bahwa sebenarnya mengubah kesalahan konsep siswa tidaklah mudah. Siswa dalam membangun pemahamannya tentang konsep sains membentuk suatu kerangka berpikir yang kompleks. Pembentukan kerangka berpikir tersebut merupakan hasil interaksi siswa dengan pengalaman-pengalaman konkritnya atau dari hasil belajarnya. Kerangka yang mengambarkan hubungan antar konsep ini oleh Piaget disebu schema (Katu, 1992).
Dalam membantu siswa membangun pemahaman yang sesuai dengan konsep ilmiah, para guru memberi dorongan supaya ada usaha dari siswa sendiri untuk merombak kerangka pemikiran yang dimilikinya. Informasi atau pengetahuan baru yang dapat diterima ke dalam struktur kognitif siswa, menurut Piaget (Travers, 1982) melalui dua mekanisme yaitu: asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi, siswa menggunakan konsep yang telah dimiliki sebelumnya untuk beradaptasi dengan informasi baru yang dihadapinya. Jika informasi baru itu berbeda dengan konsep yang ada pada struktur kognitifnya, maka terjadi ketakseimbangan (disequilibrium) sehingga diperlukan perubahan atau modifikasi schema untuk mencapai keseimbanagn struktur kognitif. Proses akomodasi merupakan dasar bagi perubahan konseptual, konstruksi pengetahuan dan proses belajar. Perubahan konseptual merupakan proses mengubah konsepsi awal dengan konsepsi baru yang lebih sesuai atau konsisten dengan konsep fisikawan (Fishler, 1993). Ketiga proses (asimilasi, disequilibrium dan akomodasi) ini bersifat adaptif dan berlanggsung kelanjutan dalam pembentukan pengetahuan. Terciptanya keadaan keseimbangan schema merupakan proses konstruktif perolehan pengetahuan dan perubahan konseptual. Melalui proses perubahan konseptual, kegiatan belajar akan menjadi bermakna (Smith, et al. 1993); karena siswa terlibat dalam kegiatan belajar yang dapat membantunya mengkonstruksi sendiri pengetahuan (Dykstra, 1992).
Driver & Bell (1986) menyebutkan beberapa pandangan kelompok konstruktivisme terhadap proses belajar sains sebagai berikut (1) hasil belajar tergantung pada lingkungan belajar dan konsepsi awal siswa; (2) belajar melibatkan pembentukan makna dengan menghubungkan konsepsi awal dengan konsep yang sedang dipelajari; (3) proses pembetukan ini aktif dan berkelanjutan; (4) belajar melibatkan penerimaan konsep-konsep yang sedang dipelajari; (6) pengalaman bahasa mempengaruhi pola-pola pemaknaan.
Glasson & Lalik (1993:188) menyatakan bahwa belajar sains sebagai proses konstruktif dan konstruksi pengetahuan itu memerlukan partisipasi aktif antara guru dan siswa. Dinyatakan pula bahwa untuk membangun pengetahuan siswa harus mengidentifikasi, menguji dan menafsirkan makna dari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki (yang sudah ada) dan kemudian menyesuaikan dengan masalah atau situasi yang dihadapinya. Guru harus menemukan cara-cara memahami pandangan (gagasan) siswa/mahasiswa, merencanakan kerangka alternatif, meranggsang konflik kognitif dan mengembangkan tugas-tugas yang memajukan konstruksi pengetahuan.
Konstruktivisme memandang penting peranan konsepsi awal dalam proses belajar sains. Dijelaskan bahwa jika guru tidak mempertimbangkan (mengabaikan) pengetahuan awal dapat memunculkan atau menjadi sumber kesulitan, baik pada guru, siswa atau keduanya (Bendall & Galili, 1993:1169). Walaupun konsepsi awal kadang-kadang tidak jelas dan berbeda dengan pengetahuan ilmiah, namun konsepsi awal ini perlu diidentifikasi sebagai titik awal dalam perubahan konseptual. Melalui perubahan konseptual dalam belajar sains, siswa dapat terlibat aktif dalam membentuk pengetahuan sendiri dengan cara memodifikasi konsepsi awal mereka. Konsepsi awal yang termodifikasi melalui proses akomodasi dapat membantu siswa menetralisir kegelisahan atau konflik yang timbul ketika berintegrasi dengan lingkungan dan mengembangkan kerangka konseptual yang dapat mengurangi kegiatan yang hanya menekankan menghafal ( rote memorization).
Dengan demikian, proses perubahan konseptual dalam belajar sains dapat menunjang belajar bermakna, karena konsep tersebut diawali dengan mengidentifikasi konsepsi awal siswa. Guru perlu menerapkan strategi-strategi mengajar yang cocok agar perubahan konseptual siswa dapat terjadi, misalnya strategi mengajar perubahan konseptual yang didasari konstruktivisme (Tomo, 1995).

LEP MODEL DALAM PEMBELAJARAN IPA
Menurut Stinner (Glynn & Duit, 1995:282) dalam merencanakan pemebelajaran sains yang berhasil, guru perlu memberikan perhatian pada tiga bidang aktivitas yang saling terkait yait: (1) bidang logis; (2) bidang bukti atau pengalaman dan (3) bidang psikologis. Ketiga bidang tersebut mendukung terciptanya pembelajaran yang berhasil. Uraian tentang ketiga bidang tersebut disajikan berikut ini.
Pertama, bidang logis mengandung pengertian bahwa pengajaran harus memuat produk-produk ilmiah sains (misalnya fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, model) yang disepakati oleh ilmuwan. Dalam konteks ini, buku teks memegang peranan sebagai kendaraan pedagogis bagi penghargaan terhadap normal sains-sains yang selama ini dipakai oleh sebagian besar ilmuwan (Kuhn, 1962:44). Pengajaran sains yang berpusat pada buku teks akan menekankan penguasaan produk ilmiah sains. Siswa akan terperangkap dalam aktivitas belajar ”menghafal” produk sains tersebut. Para siswa sedikit sekali dapat melihat hubungan antara pengalaman-pengalaman dan konsep-konsep ilmiah yang mereka pelajari dari buku teks. Akibatnya, efektivitas pembelajaran dilihat dari sejauh mana siswa/mahasiswa dapat menghafal produk-produk sains dan menyelesaikan masalah latihan dengan menggunakan berbagai formula matematis.
Untuk menghubungkan ”Bidang Logis” dengan ”Bidang Pengalaman”, seorang guru perlu memunculkan pertanyaan ”operasi-operasi apa yang menghubungkan konsep-konsep yang dipelajari siswa dengan pengalaman siswa atau peristiwa sehari-hari”. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan belajar sains yang dilakukan untuk membantu siswa menguasai konsep dan menghubungkannya dengan pengalaman mereka.
Kedua, ”Bidang Bukti” mengandung pengertian bahwa pembelajaran sains seharusnya memuat juga aktivitas belajar yang menghubungkan dan mendukung produk-produk sains dalam dunia pengalaman siswa. Aktivitas belajar itu meliputi pelaksanaan percobaan ( diskoveri inkuiri) atau demonstrasi sederhana yang dapat diawali guru. Dengan melakukan aktivitas eksperimen ini diharapkan siswa dapat memberikan makna berbagai generalisasi simbolik ( formula ) dalam berbagai konteks. Pertanyaan yang perlu dijawab pada Bidang Bukti/Pengalaman adalah ”Alasan-alasan apa untuk mempercayai bahwa…..”. Dengan pertanyaan ini, guru seharusnya mencari bukti-bukti yang ”masuk akal” bagi siswa. Pertanyaan kedua adalah ” Apa hubungan-hubungan yang bermacam-macam dari konsep itu?”. Pada bidang ini, ketetapan perlu dibuat untuk menunjukan bahwa suatu konsep adalah sah (valid) ketika digunakan dalam area yang kelihatan berbeda dengan cara inkuiri ilmiah. Lebih jauh, semakin banyak hubungan berbeda dapat diciptakan guru, makin kuat konsep itu dalam ingatan (memori) siswa.
Ketiga ”Bidang Psikologis” mengandung pengertian bahwa guru perlu mempertimbangkan berbagai konsep awal siswa dan penguasaan konsep sains dari jenjang sekolah sebelumnya. Aktivitas mengidentifikasi konsepsi awal perlu dilakukan guru/dosen. Buku teks pada umumnya jarang memperhatikan konsepsi awal siswa/mahasiswa. Akibatnya, guru yang berorientasi pada buku teks cenderung tidak memiliki perhatian tentang bagaimana konsepsi awal siswa ini berinteraksi dengan konsep yang diajarkannya. Tiga pertanyaan yang perlu dijawab pada bidang ini adalah: (1) apakah konsep yang diajarkan mudah dipahami; (2) apakah konsep yang diajarkan masuk akal dan (3) apakah konsep yang dipelajari dirasakan siswa berguna atau bermanfaat dalam berbagai situasi.

Hubungan antara ketiga bidang itu disajikan dalam bagan berikut.

Konsisten dengan model konseptual LEP di atas disimpulkan bahwa pembelajaran sains dapat ditingkatkan efektifitasnya dan akan lebih bermakna bila melibatkan aktivitas-aktivitas belajar sebagai berikut:
1. Mengidentifikasikan dan menguji konsepsi awal siswa sebagai langkah awal guru untuk mengupayakan perubahan konseptual dengan mempertimbangkan apakah konsep yang diajarkan itu mudah dipahami, masuk akal dan berguna bagi siswa/mahasiswa.
2. Menguji pernyataan, konsep dan prinsip yang termuat dalam buku teks dan menyediakan bukti/pengalaman untuk pernyataan, konsep dan prinsip tersebut.
3. Menemukan hubungan yang bermacam-macam dalam sains, masyrakat dan teknologi.

Buku teks sains saat ini kurang memuat atau mengabaikan dua aspek penting dalam belajar sains, yaitu bidang psikologis dan penerapan konsep dalam kehidupan dan pengalaman siswa sehari-hari. Buku teks pada umumnya tidak membahas tentang bagaimana belajar sains yang bermakna. Banyak buku teks sains saaat ini yang memberikan penekanan berlebihan pada produk fakta ilmiah dan formula matematis. Hubungan konsep-konsep sains dengan pengalaman atau fenomena alam sehari-hari, banyak mereka tidak dapat menjelaskan atau menyelesaikan sesuai dengan konsep ilmiah.

PENUTUP
Hingga saat ini, pembelajaran sains yang berpusat pada buku teks masih banyak dijumpai di sekolah dan perguruan tinggi. Bahkan, telah menjadi budaya bagi sebagian guru. Mereka berorientasi dan memperoleh pengalaman praktik pembelajaran sains dari buku teks. Budaya pengajaran sains berpusat pada buku teks ini harus diubah, karena pemahaman produk sains tidak dapat dikembangkan hanya dari buku teks. Budaya ini juga bertentangan dengan hakikat sains dan diyakini sulit untuk ”melahirkan” siswa/mahsasiswa yang melek sains dan teknologi.
Konsisten dengan model konseptual LEP, guru perlu mempertimbangkan aspek-aspek bidang logis, bidang pengalaman dan bidang psikologis dalam pembelajaran sains agar lebih bermakna. Diharapkan dengan bekal pemahaman dan kesadaran ketiga bidang ini dapat diciptakan proses pembelajaran yang mudah dipahami, masuk akal dan dirasa bermanfaat oleh siswa sehingga mampu membangkitkan perubahan konseptual.

DAFTAR PUSTAKA

Abruscato.J (1982). Teaching Children Science. New Jersey, USA. Printice-Hall, Inc.
Bendall, S. & Galili, I. (1993). Prospective Elementary Teacher’s Prior Knowledge about Light. Journal of Research in Science Teaching, 30(9), 1169-1187.
Bell, B.F. (1995). Children’s Science, Constructivism and Learning in Science. Deakin University: Australia.
Bell, M.E. (1993). Learning And Instruction Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Company.
Carin, A.A. (1997). Teaching Modern Science (7 th edition). New Jersey: Merril Printice Hall.
Carin, A.A & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery (6 th edition). Columbus, Ohio: Merril Publishing Company.
Dahar, R.W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Dreyfus, et al. (1990). Applying the Cognitive Conflict Strategy for Conceptual Change – Some Implications Difficulties and Problem. Journal of Research In Science Teaching, 74(5), 555-569.
Driver,et al. (1985). Childrens’ Ideas In Science Teaching. Philadelpia : Open University Press.
Dykstra, et al. (1992). Studying Conceptual Change in Learning Physics. Journal of Research In Science Teaching, 76(6), 615-652.
Fethertonhaugh, T. & Treagust, D.F. (1992). Students’ Understanding of Light and Its Properties: Teaching to Engender Conceptual Change. Journal of Research in Science Teaching, 76(6), 653-672.
Fischer, H.E. (1993). Framework for Conducting Empirical Observations of Learning Processes. Journal of Research in Science Teaching, 77(2), 153-168
Glynn, S.M. & Duit, R. (editors).(1995). Learning Sains in The Schools: Research Reforming Practice. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Harlen, W.(1985). The Teaching of Science. Studies in Primary Education. London: David Fulton Publishers.
Harlen, W.(1992). Primary Science. Taking the Plunge. Boston, USA: Heinemann Educational Books.
Katu, N. (1992). Development of Conception in Basic Electricity : An Exploratory Study Using Teaching Experiment Methodology. Doktoral Disertation. Unpublished. University Park, PA : The Pennsylvania State University.
Katu, N. (1994). Miskonsepsi Dalam Fisika : Workshop on Misconception on Basic Phisics Teaching. LIDA USU-Medan
Kuhn, T.(1962). The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University Press.
Lonning, R.A. (1993). Effect of Cooperative Learning Strategies On Student Verbal Instruction and Achievement during Conceptual Change Instruction in 10th Grade General Science. Journal of Research In Science Teaching, 30(9), 1087-1101
Moore, D.W.(1980). Teaching Science in the Primary Schools. Columbus, Ohio: Merril Publishing Company.
Posner, G.J.et al. (1982). Accomodation of a scientific Conception, Toward a Theory of Conceptual Change. Science Education. 66(2). 211-227.
Smith, et al. (1993). Teaching Strategies Associated With Conceptual Change Learning In Science. Journal of Research In Science Teaching. 30(2), 111-126
Tomo. (1995) Model Konstruktivis Untuk Membangkitkan Perubahan Konseptual Siswa dalam Pembelajaran IPA. Tesis Magister PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.
Van den Berg, E. (1990). Salah Konsep dan Pengelolaan Data dalam Otak Manusia. Yogyakarta : UKSW-FPMIPA
Van den Berg, E. (1991). Miskonsepsi Fisika dan Remediasinya. Yogyakarta : UKSW-FPMIPA.
Watt, M. & Gilbert, J.K.(1983). Concept, Misconception and Alternative Conception Changing Perspectives in Science Education. Studies in Science Education, 5(10), 61-98.


Hakekat Pembelajaran IPA

Januari 6, 2010

pengembangan pembelajaran IPA SD Unit 2 subunit 1 ls


Awal dari Pengetahuan Tentang Radioaktivitas

Januari 6, 2010

Awal dari Pengetahuan Tentang Radioaktivitas


menyusuri pembelajaran sains anak-anak

Januari 6, 2010

menyusuri pembelajaran sains anak-anak